oleh

Scholas Occurrentes Perluas Misinya di Indonesia dengan Proyek Pendidikan dan Seni Inovatif: “Hati Indonesia”

Jakarta, Agustus 2024 – Scholas Occurrentes, sebuah Gerakan Pendidikan Internasional yang diluncurkan secara global pada tahun 2013 oleh Paus Fransiskus, terus memperluas misinya untuk mengubah kehidupan kaum muda melalui metodologi pendidikan inovatif yang menggabungkan teknologi, olahraga, dan seni. Berakar pada visi untuk “menciptakan Budaya Perjumpaan, menyatukan kaum muda dalam pendidikan yang menghasilkan Makna,” Scholas telah menjadi kekuatan penting bagi inklusi, persatuan, dan komitmen sosial di lima benua, menjangkau lebih dari setengah juta sekolah dan universitas di seluruh dunia.

Komitmen terhadap Pemuda dan Budaya Indonesia

Sejalan dengan misinya, Scholas Occurrentes baru-baru ini memperdalam keterlibatannya di Indonesia, negara yang kaya akan keragaman budaya dan berkomitmen untuk mengembangkan Budaya Perjumpaan. “Asal usul Scholas adalah antarbudaya dan antaragama, yang selalu mempromosikan budaya perjumpaan melalui metode pendidikan, proposal pendidikan,” kata José María del Corral, Presiden Global Scholas Occurrentes. “Kami percaya bahwa metode kami, yang sudah aktif hadir di 70 negara di seluruh dunia, dapat menjadi bagian dari warisan Paus Fransiskus bagi Indonesia, sambil juga belajar dari budaya, masyarakat, dan sekolahnya yang kaya.”

Baca Juga  PPKM Darurat Diperpanjang, Gerindra Minta Pemerintah Segera Salurkan Bantuan ke Masyarakat Terdampak

Proyek Hati Polyhedron: Simbol Persatuan dalam Keberagaman

Berangkat dari keberhasilan menciptakan karya seni kolektif terpanjang di dunia di Cascais, Portugal, pada tahun 2023, Scholas kini memulai tantangan artistik baru di Indonesia. Proyek Hati Polyhedron bertujuan untuk menciptakan patung yang melambangkan jantung Indonesia, yang mencerminkan kekayaan keragaman budaya negara ini. Setiap sisi polyhedron menceritakan kisah para pesertanya, yang memadukan pendidikan, seni, dan teknologi untuk melambangkan bagaimana setiap individu berkontribusi pada komunitas global yang lebih hidup dan bermakna.

Baca Juga  Fajar R Zulkarnaen: Pemerintah Agar Ambil Alih Pelaksanaan RDTR Daerah Yang Lambat

Karya ini melambangkan bagaimana setiap individu berkontribusi pada komunitas global yang lebih dinamis dan bermakna. Karya seni yang mewakili semboyan nasional Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu) ini melibatkan total 1.500 peserta. Pesertanya termasuk individu dari program pendidikan di Jakarta, peserta lokakarya di Bali, Lombok, dan Labuan Bajo, serta narapidana dari tiga fasilitas penjara, termasuk yang diperuntukkan bagi narapidana muda, perempuan, dan laki-laki.

Patung tersebut menggabungkan barang-barang pribadi dari para kontributornya, menciptakan ruang sakral yang menyimpan kenangan dan menandakan komunitas bersama.

Baca Juga  Kyai Sepuh Jawa Timur Doakan Prabowo: Semoga Yang Dicita-citakan 2024 Terwujud

Integritas Material Berkelanjutan untuk Pesan Global

Proyek Polyhedron menggunakan tiga jenis material—unsur alami, unsur kain, dan unsur daur ulang—agar selaras dengan pesan lingkungan dari ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si’ dan Laudato Deum. Material-material ini dipilih dengan cermat untuk mencerminkan komitmen dalam merawat rumah kita bersama dan mengatasi tantangan iklim. Sama seperti Paus Fransiskus yang membuat sapuan kuas terakhir pada mural di Cascais, ia akan menambahkan objek pribadi pada polyhedron ini, yang akan mempererat hubungan antara seni, teknologi, dan komunitas.

Senin ini, 2 September, akan ada acara eksklusif, di mana media akan dapat melihat polihedron secara langsung, sebelum pertemuan Paus Fransiskus dengan komunitas Scholas Occurrentes pada tanggal 4 September.

News Feed